Menjelang Negara Indonesia berdiri, para Pendiri Bangsa telah menetapkan
Pancasila sebagai landasan dasar negara yang menjadi pondasi bagi
bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Meskipun berbeda isi
dengan Pancasila Buddhis, nampaknya pemikiran dasar dari terbentuknya
Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia ini merujuk pada Pancasila
Buddhis sebagai inspirasinya.
Salah satu sila dari Pancasila RI yaitu sila pertama adalah Ketuhanan
Yang Maha Esa. Mayoritas orang salah mengartikannya sebagai pengakuan
bangsa Indonesia atas keberadaan tuhan yang hanya satu.
Padahal, ditinjau dari sudut etimologi bahasa khususnya bahasa
Sanskerta yang merupakan bahasa yang digunakan dalam pembentukkan
kalimat pada sila pertama tersebut, Ketuhanan Yang Maha Esa
tidaklah mengacu pada keberadaan tuhan yang satu. Ketuhanan Yang Maha
Esa lebih mengacu pada nilai-nilai atau sifat-sifat luhur yang tinggi
yang mutlak ada.
Kesalahan dengan menganggap bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa berarti
pengakuan atas adanya tuhan yang hanya satu, dan tuhan tersebut
diidentikkan dengan tuhan yang berpersonal, maka mempengaruhi
peraturan-peraturan pemerintahan khususnya mengenai syarat suatu
kepercayaan untuk menjadi agama yang resmi yang diakui oleh Pemerintah.
Hal ini tentu saja menimbulkan polemik dalam agama yang tidak menganut
ajaran monoteis ataupun tuhan yang berpersonal, termasuk agama Hindu
yang menganut politeis dan Agama Buddha yang nonteis.
Masih adanya kalangan yang mempertanyakan apakah ajaran Agama Buddha
mengakui adanya Ketuhanan Yang Maha Esa, membuat pemerintah pada waktu
itu merasa ragu untuk menjadikan Agama Buddha sebagai agama resmi.
Kemudian, Y.M. Bhikkhu Ashin Jinarakkhita mengusulkan nama Sanghyang Adi
Buddha sebagai nama dari tuhan dalam ajaran Agama Buddha. Hal ini
kemudian disampaikan kepada Menteri Agama dan akhirnya pemerintah
menerima Agama Buddha sebagai agama resmi negara pada tahun 1978. Hal
ini tercantum dalam GBHN tahun 1978, Kepres R.I No. 30 Tahun 1978, serta
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.477/74054/1978 (18 November 1978).
Meskipun Agama Buddha telah resmi menjadi agama negara, namun
penggunaan istilah Sanghyang Adi Buddha sebagai tuhan menjadi polemik
dan kontroversi tersendiri di kalangan umat Buddha Indonesia sampai
sekarang. Hal ini dikarenakan konsep Sanghyang Adi Buddha yang hanya ada
dalam Agama Buddha mazhab/tradisi Tantrayana/Vajrayana bukanlah tuhan
dalam pengertian tuhan berpersonal seperti pengertian dalam agama
monotheis (agama Abraham). Politisasi dengan menggunakan dan
sekaligus menyandingkan istilah Sanghyang Adi Buddha sebagai tuhan
personal sangat bertentangan dengan ajaran Agama Buddha yang pada dasarnya adalah nonteis.
Dengan adanya politisasi ini, menjadikan Agama Buddha di Indonesia
menjadi sedikit berbeda dengan Agama Buddha di dunia. Selain itu, hal
ini menambah jumlah sikap kontroversi yang ada pada diri Y.M. Bhikkhu
Ashin Jinarakkhita sebagai pencetus penggunaan istilah Sanghyang Adi
Buddha sebagai tuhan dalam Agama Buddha.
Akhirnya, pada tahun yang sama, Ditjen Bimas Hindu-Buddha (Gde Puja,
MA.) mengeluarkan keputusan bahwa seluruh mazhab/tradisi Agama Buddha
berkeyakinan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa dan masing-masing sekte
memberikan nama yang berbeda-beda, tetapi pada hakekatnya adalah sama.
Dengan demikian, maka secara tidak langsung timbul pemaksaan doktrin
oleh pemerintah dimana seluruh mazhab/tradisi Agama Buddha wajib
meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan bagi mazhab/tradisi yang
tidak meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa, maka akan dibubarkan. Hal ini
pernah terjadi pada mazhab/tradisi Buddha Mahayana yang diperkenalkan
oleh Bhiksu Surya Karma Chandra. Karena Mazhab/tradisi ini tidak
menerima doktrin Tuhan Yang Maha Esa, maka akhirnya mazhab/tradisi ini
dilarang keberadaannya pada tanggal 21 Juli 1978.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar