Sabtu, 21 Juli 2012

Pergeseran Makna Ngabuburit



Bulan Ramadhan, bulan yang seringkali kita jadikan momentum kembali mendalami religiusitas. Selama sebulan kita berpuasa. Selama sebulan kita menahan emosi, lapar dan haus di siang hari. Di malam hari kita memperbanyak ibadah-ibadah sunnah seperti tarawih, witir dan tadarus Al-Qur’an...
Hehehehe...Semoga benar begitu... :)
Bulan Ramadhan, khusus di Indonesia, diisi pula dengan tradisi ngabuburit atau menunggu bulan puasa. Harusnya momentum ini diisi dengan kegiatan-kegiatan religi. Namun tidak demikian halnya yang terjadi...
Ngabuburit benar-benar asli Indonesia, harusnya menjadi momen yang demikian transendensi bukan snobis, hedonis, maupun konsumeris. Karena pada hakekatnya ngabuburit juga semacam perjalanan para “pejuang” yang demikian membutuhkan mentalitas transendensi dan religi...
Dalam pengertian perspektif sosiologis-ekonomis justru ngabuburit menunggu makan dan minum setelah seharian tak makan. Jelas ini bukanlah tradisi spiritual kembali ke pensucian jiwa. Karena banyak kalangan demi ngabuburit kehilangan akar budaya masing-masing dengan cara buang-buang waktu.
Demi ngabuburit juga justru di jalan-jalan berkumpul buang-buang waktu. Juga bersamaan di rumah acara-acara televisi menggambarkan betapa makan enak lebih afdol untuk berbuka puasa bersama produk-produk yang diiklankan itu...
Ironisnya, manusia-manusia tetap menganggap ngabuburit bukanlah cara buang-buang waktu. Maka lihatlah rata-rata mereka yang melakukan ngabuburit di jalan-jalan itu wajahnya cerah-cerah seperti sedang tamasya yang nanti pulang makan dan minum sebanyak-banyaknya. Jadi sangatlah banyak kita temui di alun-alun, di lapangan terbuka atau di jalan-jalan. Menjelang bedug magrib, manusia pada gentayangan...
Ngabuburit, apa boleh buat, jadi semacam sistem nilai budaya yang memegang monopoli sistem nilai kehidupan jelang buka puasa Ramadhan. Peristiwa ngabuburit yang sesungguhnya punya dimensi transendental malah kehilangan makna.
Selain itu ironisnya lagi dalam pengertian perspektif sosiologis-ekonomis, ngabuburit juga mempunyai pengertian, betapa ngabuburit butuh citra gengsi. Sesungguhnya bukanlah mustahil dengan begitu ngabuburit memang (bisa) bergeser nilainya. Pengertian semula ngabuburit adalah untuk momentum religi pun bergeser sistem nilainya.
Tidak sedikit di sebuah lingkungan masyarakat kita kegiatan ngabuburit, pelan-pelan berubah diri, pamer-pamer kebiasaan wisata model tongkorangan masa kini...
*Dari berbagai sumber...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar