Selasa, 14 Agustus 2012

Kisah Penciptaan Adam



Untuk menciptakan manusia, Tuhan memberi perintah kepada Malaikat Jibril:
"Bawakanlah segumpal tanah sebagai pinjaman."

Malaikat Jibril turun ke bumi untuk menjalankan tugas yang diberikan kepadanya. Baru mau mengambil tanah, bumi menarik diri. Dia merintih:
"Jangan malaikat. Demi Allah, janganlah mengambil tanah ini. Engkau tahu persis apa yang akan terjadi setelah manusia tercipta. Bersama dia, aku pun akan terseret ke dalam bahaya dan bencana. Atas Nama Allah, lindungilah diriku dari marabahaya."

Malaikat Jibril yang berhati lembut menyalami dia dan kembali menghadap Tuhan:
"Ya Allah, Ya Rabb, Engkau Maha Tahu dan tahu persis bahwa aku sudah berupaya, tetapi rintihan bumi membuat aku tak berdaya, karena dia menggunakan Nama-Mu. Demi Nama-Mu yang kusucikan, dia memohon perlindungan."

Maka Tuhan mengutus Malaikat Mikail, "Pergilah dan ambillah segumpal tanah."
Dan dia pun tidak berhasil. Begitu juga malaikat Israfil yang diutus setelah Mikail. Dia malah mengeluh,
"Ya Allah, Ya Rabb, Engkau memberi perintah untuk mengambil segumpal tanah, tetapi bersama itu. Engkau juga memberiku hati yang sangat lembut. Itu sebabnya, aku tak berdaya. Tidak bisa mengambil tanah secara paksa."

Terakhir, Tuhan mengutus Izrail:
"Lihatlah, dunia itu hanya sebuah khayalan. Bawakan segumpal tanah dari sana."

Seperti biasa, bumi merintih lagi,
"Jangan Malaikat, janganlah membahayakan keberadaanku. Atas Nama Allah, aku mohon perlindungan."

Izrail menjawab, "Rintihanmu, ratapanmu takkan berhasil menggoyahkan imanku terhadap Perintah-Nya."

"Bukankah Dia pula yang memberi perintah agar kita menahan diri dan saling mengasihi?", kata bumi.

"Engkau sedang menafsirkan perintah Allah, sementara aku sedang berupaya untuk menjalaninya. Aku melihat kasih dibalik kekerasan. Aku melihat permata tertutup oleh tanah.
Janganlah engkau menyangsikan Kebijakan Tuhan. Jangan ragu-ragu, jangan bimbang. Jalani perintah-Nya dengan penuh kepasrahan, keikhlasan.
Jangan pula mengharapkan apa-apa dari diriku. Aku hanya menjalani perintah-Nya. Itu saja. Tak ada suara lain yang kudengarkan kecuali suara-Nya.
Aku bagaikan pedang di tangan-Nya untuk apa memohon perlindungan dariku? Permohonanmu salah alamat. Bermohonlah kepada Dia yang memegang aku. Bila Dia menghendaki, pedang yang membunuh bisa berubah menjadi cawan berisikan air kehidupan."

Kemudian tanpa basa-basi lagi Izrail mengambil segumpal tanah dari bumi untuk diserahkan kepada Dia Yang Mengutusnya.

"Izrail, engkau Kuangkat sebagai Malaikat Pencabut Nyawa," demikian sabda Tuhan.

"Biarlah kehendak-Mu yang terjadi... Tetapi bila aku diberi tugas mencabut nyawa, aku sudah pasti dibenci," protes Izrail sungguh halus. Tetapi protes tetaplah protes.

"Mereka tidak akan melihat tanganmu. Yang terlihat adalah penyakit, kecelakaan, dan bencana alam. Dan mereka pikir ketiga hal itu yang menyebabkan kematian," tambah Tuhan.

"Tetapi di antara mereka sudah pasti ada yang melihat sebab di balik akibat. Tangan-Ku, peran-Ku akan terlihat jelas."

Tuhan menjawab:
"Mereka yang sudah bisa melhhat Sebab Utama dibalik segala sebab tidak akan mempersoalkan akibat.
Bagi mereka kematian tidak lagi sepahit racun. Bagi mereka kematian tmenjadi manis---semanis madu, karena mereka sadar bahwa lewat kematianlah mereka memperoleh kebebasan dari penjara dunia. Kemudian kematian pula menjadi gerbang masuk Taman Kehidupan Abadi yang Indah.
Mereka sadar bahwa yang mati hanyalah badan. Jiwa hidup abadi. Oleh karena itu, tidak perlu menghawatirkan mereka yang mati dengan penuh kesadaran. Kendati melihat peranmu, mereka tidak akan pernah mengeluh. Apalagi membenci kamu..."

"Betapa indahnya hidup ini, bila tidak ada kematian."

"Hidup ini tidak akan berarti sama sekali, jika tidak ada kematian. Terjemahanmu salah, tafsiranmu keliru. Yang engkau anggap kehidupan, sesungguhnya tanah kering kematian. Selama ini engkau menanam di atas lahan yang tidak subur itu."

-¤( Matsnawi, Syaikh Jalaluddin Rumi )¤-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar