Evolusi bintang mengarah pada peningkatan debu,
sebagaimana bintang menghasilkan elemen karbon, oksigen, dan besi, yang
adalah elemen kunci dalam partikel debu.
Para astronom
menemukan debu kosmis menjengkelkan yang menghalangi pandangan mereka ke
luar angkasa. Namun, tanpa adanya debu ini, maka alam semesta akan
menjadi tanpa bintang. Debu kosmik merupakan bahan yang sangat
diperlukan dalam membuat bintang, dan ini juga membantu memahami
bagaimana tebaran awan gas primordial secara besar-besaran merakit
dirinya sendiri menjadi galaksi.
“Pembentukan galaksi adalah salah
satu pertanyaan terbesar yang tersisa dalam astrofisika,” kata Andrey
Kravtsov, profesor bidang astronomi & astrofisika di Universitas
Chicago.
Para astrofisikawan mulai melangkah maju lebih dekat
untuk menjawab pertanyaan tersebut, berkat kombinasi observasi terbaru
dan simulasi superkomputer, termasuk yang dilakukan oleh Kravtsov dan
Nick Gnedin, seorang fisikawan dari Fermi National Accelerator
Laboratory.
Gnedin dan Kravtsov mempublikasikan hasil terbaru
berdasarkan simulasi mereka dalam The Astrophysical Journal edisi 1 Mei
2010, menjelaskan mengapa bintang-bintang terbentuk lebih lambat dalam
sejarah awal alam semesta dibandingkan dengan yang mereka lakukan
setelah lama kemudian. Makalah ini segera menjadi perhatian Robert C.
Kennicutt Jr, direktur dari Institut Astronomi Universitas Cambridge dan
salah satu penemu observasional kunci tentang pembentukan bintang di
galaksi, yang dikenal sebagai hubungan Kennicutt-Schmidt.
Dalam
Nature edisi 3 Juni 2010, Kennicutt mencatat bahwa membludaknya
observasi dan simulasi teoritis baru-baru ini menjadi pertanda baik bagi
masa depan astrofisika. Dalam makalah mereka di Astrophysical Journal,
Kennicutt menulis, “Gnedin dan Kravtsov mengambil langkah signifikan
dalam menyatukan observasi dan simulasi ini, serta memberikan ilustrasi
utama terhadap perkembangan terbaru dalam subjek secara keseluruhan.”
Hukum pembentukan-bintang
Hukum
pembentukan-bintang Kennicutt berhubungan dengan jumlah gas di galaksi
dalam menjadikan suatu area ke arah tingkat di mana ia berubah menjadi
bintang-bintang di keseluruhan area yang sama. Hubungan ini sangat
berguna bila diterapkan pada galaksi akhir yang terobservasi dalam
sejarah alam semesta, namun observasi terakhir oleh Arthur Wolfe dari
Universitas California, San Diego, dan Hsiao-Wen Chen, asisten profesor
di bidang astronomi dan astrofisika di UChicago, mengindikasikan bahwa
hubungan tersebut mengalami kegagalan bagi galaksi yang terobservasi
selama dua miliar tahun pertama setelah Big Bang.
Hasil kerja
Gnedin dan Kravtsov berhasil menjelaskan mengapa hal itu terjadi. “Apa
yang ditunjukkannya adalah, bahwa pada tahap awal evolusi, galaksi jauh kurang efisien dalam mengkonversi gas menjadi bintang,” kata Kravtsov.
Evolusi
bintang mengarah pada peningkatan kelimpahan debu, sebagaimana bintang
menghasilkan elemen-elemen yang lebih berat dari helium, termasuk
karbon, oksigen, dan besi, yang merupakan elemen kunci dalam partikel
debu.
“Pada awalnya, galaksi tidak punya cukup waktu untuk
menghasilkan banyak debu, dan tanpa debu, sangat sulit untuk membentuk
pemeliharaan bintang ini,” kata Kravtsov. “Mereka tidak mengkonversi gas
seefisien galaksi saat ini, yang sudah cukup berdebu.”
Proses
pembentukan-bintang dimulai ketika awan gas antar bintang menjadi
semakin padat. Pada beberapa titik, atom hidrogen dan helium mulai
tergabung untuk membentuk molekul di wilayah dingin tertentu awan
tersebut. Sebuah molekul hidrogen terbentuk ketika dua atom hidrogen
bergabung. Mereka tidak efisien melakukannya dalam ruang kosong, tetapi
menemukan satu sama lain menjadi lebih mudah pada permukaan partikel
debu kosmik.
“Partikel debu kosmis yang terbesar adalah partikel pasir terkecil yang ada di pantai Hawaii,” kata Gnedin.
Molekul
hidrogen bersifat rapuh dan mudah hancur oleh sinar ultraviolet kuat
yang dipancarkan dari bintang-bintang muda besar. Namun di beberapa
wilayah galaksi, awan gelap – disebut gelap karena debu yang
dikandungnya – membentuk lapisan proteksi yang melindungi molekul
hidrogen dari cahaya perusak bintang-bintang lainnya.
Pemeliharaan bintang
“Saya
suka membayangkan bintang sebagai orangtua yang sangat buruk, karena
mereka menyediakan lingkungan yang buruk bagi generasi berikutnya,”
canda Gnedin. Dengan demikian, debu memberikan lingkungan yang protektif
bagi pemeliharaan bintang, catat Kravtsov.
“Ada hubungan yang
sederhana antara kehadiran debu dalam tebaran gas dan kemampuannya
membentuk bintang, dan itu merupakan sesuatu yang untuk pertama kalinya
kami modelkan dalam simulasi pembentukan-galaksi,” kata Kravtsov. “Ini
sangat masuk akal, tapi kami tidak tahu dengan pasti bahwa itulah yang
terjadi.”
Model Gnedin-Kravtsov juga menyediakan penjelasan alami
tentang mengapa galaksi spiral mendominasi angkasa pada saat ini, dan
mengapa galaksi-galaksi kecil membentuk bintang-bintang dengan sangat
lambat dan tidak efisien.
“Kami biasanya melihat piringan yang
sangat tipis, dan jenis-jenis sistem ini sangat sulit dibentuk dalam
simulasi formasi-galaksi,” kata Kravtsov.
Itu karena para
astrofisikawan telah mengasumsikan bahwa galaksi-galaksi terbentuk
secara bertahap melalui serangkaian tabrakan. Masalahnya: simulasi
menunjukkan bahwa ketika galaksi bergabung, mereka membentuk struktur
bulat yang tampak lebih elips daripada spiral.
Namun awal dalam
sejarah alam semesta, awan gas kosmik tidaklah efisien dalam membuat
bintang-bintang, sehingga mereka bertabrakan sebelum pembentukan bintang
terjadi. “Jenis-jenis penggabungan tersebut bisa menciptakan piringan
tipis,” kata Kravtsov.
Sedangkan pada galaksi-galaksi kecil,
kurangnya produksi debu bisa menjelaskan pembentukan bintang mereka yang
tidak efisien. “Semua potongan bukti terpisah yang ada ini, entah
bagaimana, semuanya jatuh ke dalam satu tempat,” kata Gnedin. “Sebagai
fisikawan, itulah yang saya suka, karena pada umumnya, fisika merupakan
sebuah upaya untuk memahami prinsip-prinsip pemersatu di balik fenomena
yang berbeda.”
Bagaimanapun juga, masih banyak lagi pekerjaan yang
harus dilakukan dengan adanya masukan dari rekan pasca-doktoral baru di
Uchicago, dan lebih banyak simulasi lagi yang bisa dilakukan pada
superkomputer yang bahkan lebih kuat. “Itu adalah langkah berikutnya,”
kata Gnedin.
Sumber artikel: Making stars: Studies show how cosmic dust and gas shape galaxy evolution (news.uchicago.edu)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar