Kamis, 06 Oktober 2011

Membuat Bintang-bintang: Bagaimana Debu dan Gas Kosmik Membentuk Evolusi Galaksi

Evolusi bintang mengarah pada peningkatan debu, sebagaimana bintang menghasilkan elemen karbon, oksigen, dan besi, yang adalah elemen kunci dalam partikel debu.

Para astronom menemukan debu kosmis menjengkelkan yang menghalangi pandangan mereka ke luar angkasa. Namun, tanpa adanya debu ini, maka alam semesta akan menjadi tanpa bintang. Debu kosmik merupakan bahan yang sangat diperlukan dalam membuat bintang, dan ini juga membantu memahami bagaimana tebaran awan gas primordial secara besar-besaran merakit dirinya sendiri menjadi galaksi.
“Pembentukan galaksi adalah salah satu pertanyaan terbesar yang tersisa dalam astrofisika,” kata Andrey Kravtsov, profesor bidang astronomi & astrofisika di Universitas Chicago.
Para astrofisikawan mulai melangkah maju lebih dekat untuk menjawab pertanyaan tersebut, berkat kombinasi observasi terbaru dan simulasi superkomputer, termasuk yang dilakukan oleh Kravtsov dan Nick Gnedin, seorang fisikawan dari Fermi National Accelerator Laboratory.
Gnedin dan Kravtsov mempublikasikan hasil terbaru berdasarkan simulasi mereka dalam The Astrophysical Journal edisi 1 Mei 2010, menjelaskan mengapa bintang-bintang terbentuk lebih lambat dalam sejarah awal alam semesta dibandingkan dengan yang mereka lakukan setelah lama kemudian. Makalah ini segera menjadi perhatian Robert C. Kennicutt Jr, direktur dari Institut Astronomi Universitas Cambridge dan salah satu penemu observasional kunci tentang pembentukan bintang di galaksi, yang dikenal sebagai hubungan Kennicutt-Schmidt.
Dalam Nature edisi 3 Juni 2010, Kennicutt mencatat bahwa membludaknya observasi dan simulasi teoritis baru-baru ini menjadi pertanda baik bagi masa depan astrofisika. Dalam makalah mereka di Astrophysical Journal, Kennicutt menulis, “Gnedin dan Kravtsov mengambil langkah signifikan dalam menyatukan observasi dan simulasi ini, serta memberikan ilustrasi utama terhadap perkembangan terbaru dalam subjek secara keseluruhan.”
Hukum pembentukan-bintang
Hukum pembentukan-bintang Kennicutt berhubungan dengan jumlah gas di galaksi dalam menjadikan suatu area ke arah tingkat di mana ia berubah menjadi bintang-bintang di keseluruhan area yang sama. Hubungan ini sangat berguna bila diterapkan pada galaksi akhir yang terobservasi dalam sejarah alam semesta, namun observasi terakhir oleh Arthur Wolfe dari Universitas California, San Diego, dan Hsiao-Wen Chen, asisten profesor di bidang astronomi dan astrofisika di UChicago, mengindikasikan bahwa hubungan tersebut mengalami kegagalan bagi galaksi yang terobservasi selama dua miliar tahun pertama setelah Big Bang.
Hasil kerja Gnedin dan Kravtsov berhasil menjelaskan mengapa hal itu terjadi. “Apa yang ditunjukkannya adalah, bahwa pada tahap awal evolusi, galaksi jauh kurang efisien dalam mengkonversi gas menjadi bintang,” kata Kravtsov.
Evolusi bintang mengarah pada peningkatan kelimpahan debu, sebagaimana bintang menghasilkan elemen-elemen yang lebih berat dari helium, termasuk karbon, oksigen, dan besi, yang merupakan elemen kunci dalam partikel debu.
“Pada awalnya, galaksi tidak punya cukup waktu untuk menghasilkan banyak debu, dan tanpa debu, sangat sulit untuk membentuk pemeliharaan bintang ini,” kata Kravtsov. “Mereka tidak mengkonversi gas seefisien galaksi saat ini, yang sudah cukup berdebu.”
Proses pembentukan-bintang dimulai ketika awan gas antar bintang menjadi semakin padat. Pada beberapa titik, atom hidrogen dan helium mulai tergabung untuk membentuk molekul di wilayah dingin tertentu awan tersebut. Sebuah molekul hidrogen terbentuk ketika dua atom hidrogen bergabung. Mereka tidak efisien melakukannya dalam ruang kosong, tetapi menemukan satu sama lain menjadi lebih mudah pada permukaan partikel debu kosmik.
“Partikel debu kosmis yang terbesar adalah partikel pasir terkecil yang ada di pantai Hawaii,” kata Gnedin.
Molekul hidrogen bersifat rapuh dan mudah hancur oleh sinar ultraviolet kuat yang dipancarkan dari bintang-bintang muda besar. Namun di beberapa wilayah galaksi, awan gelap – disebut gelap karena debu yang dikandungnya – membentuk lapisan proteksi yang melindungi molekul hidrogen dari cahaya perusak bintang-bintang lainnya.
Pemeliharaan bintang
“Saya suka membayangkan bintang sebagai orangtua yang sangat buruk, karena mereka menyediakan lingkungan yang buruk bagi generasi berikutnya,” canda Gnedin. Dengan demikian, debu memberikan lingkungan yang protektif bagi pemeliharaan bintang, catat Kravtsov.
“Ada hubungan yang sederhana antara kehadiran debu dalam tebaran gas dan kemampuannya membentuk bintang, dan itu merupakan sesuatu yang untuk pertama kalinya kami modelkan dalam simulasi pembentukan-galaksi,” kata Kravtsov. “Ini sangat masuk akal, tapi kami tidak tahu dengan pasti bahwa itulah yang terjadi.”
Model Gnedin-Kravtsov juga menyediakan penjelasan alami tentang mengapa galaksi spiral mendominasi angkasa pada saat ini, dan mengapa galaksi-galaksi kecil membentuk bintang-bintang dengan sangat lambat dan tidak efisien.
“Kami biasanya melihat piringan yang sangat tipis, dan jenis-jenis sistem ini sangat sulit dibentuk dalam simulasi formasi-galaksi,” kata Kravtsov.
Itu karena para astrofisikawan telah mengasumsikan bahwa galaksi-galaksi terbentuk secara bertahap melalui serangkaian tabrakan. Masalahnya: simulasi menunjukkan bahwa ketika galaksi bergabung, mereka membentuk struktur bulat yang tampak lebih elips daripada spiral.
Namun awal dalam sejarah alam semesta, awan gas kosmik tidaklah efisien dalam membuat bintang-bintang, sehingga mereka bertabrakan sebelum pembentukan bintang terjadi. “Jenis-jenis penggabungan tersebut bisa menciptakan piringan tipis,” kata Kravtsov.
Sedangkan pada galaksi-galaksi kecil, kurangnya produksi debu bisa menjelaskan pembentukan bintang mereka yang tidak efisien. “Semua potongan bukti terpisah yang ada ini, entah bagaimana, semuanya jatuh ke dalam satu tempat,” kata Gnedin. “Sebagai fisikawan, itulah yang saya suka, karena pada umumnya, fisika merupakan sebuah upaya untuk memahami prinsip-prinsip pemersatu di balik fenomena yang berbeda.”
Bagaimanapun juga, masih banyak lagi pekerjaan yang harus dilakukan dengan adanya masukan dari rekan pasca-doktoral baru di Uchicago, dan lebih banyak simulasi lagi yang bisa dilakukan pada superkomputer yang bahkan lebih kuat. “Itu adalah langkah berikutnya,” kata Gnedin.
Sumber artikel: Making stars: Studies show how cosmic dust and gas shape galaxy evolution (news.uchicago.edu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar